Selasa, 28 Juli 2009

AL-QUR'AN

Al-Quran yang secara harfiah berarti "bacaan sempurna"
merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat,
karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis
baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi
Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.

Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta
orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat
menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf
oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.

Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang
diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat
demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya,
sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya
susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga
kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada
kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan
jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang
dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan
kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya
yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tatacara
membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal
atau diperhalus ucapannya, di mana tempat yang terlarang,
atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur
lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya.

Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah
77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh
sembilan) kata, dengan jumlah huruf 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu lima belas) huruf yang seimbang jumlah
kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun
kata dengan lawan kata dan dampaknya.

Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat
terulang sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali;
akhirat terulang 115 kali sebanyak kata dunia; malaikat
terulang 88 kali sebanyak kata setan; thuma'ninah
(ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhijg
(kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.

Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya
yaitu ridha (kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama
dengan akibatnya yaitu penyesalan masing-masing 12 kali;
zakat sama dengan berkat yakni kebajikan melimpah,
masing-masing 32 kali. Masih amat banyak keseimbangan
lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365,
sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan)
terulang 12 kali juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun.
Demikian

"Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran
dan keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."

Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Quran
menantang:

"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk
menyusun semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan
berhasil menyusun semacamnya walaupun mereka bekerja
sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).

Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada
seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah
memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan
berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya,
seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu
dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan
keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan
kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan
yang ditimbulkannya.

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia
dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan
kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai
membaca dan menulis)? Mengapa demikian?

Iqra' terambil dari akar kata yang berarti "menghimpun,"
sehingga tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis
dengan aksara tertentu."

Dari "menghimpun" lahir aneka ragam makna, seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri
sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.

Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?"
tanya Nabi -dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan
dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.

Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar
beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut
Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.

Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah
ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman,
sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis.
Alhasil objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.

Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang
dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.

Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan
sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh
kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya
dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi
juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan
Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan
pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu
juga.

Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran
baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta
kesejahteraan batin. Berulang-ulang "membaca" alam raya,
membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta
menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca
dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang
dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun demikian,
namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta limpahan
kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang
dikandung dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan
Tuhanmulah yang paling Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah
kesejahteraan demi kesejahteraan tercapai.

Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling
berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat
manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya adalah syarat
pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta
syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban yang
berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab
(bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer
pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya
Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya
Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel
(1770-1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran
Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya, karena kita
yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk
oleh hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya

"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang
diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang
memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).

Pengetahuan dan peradaban yang dirancang oleh Al-Quran
adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu
dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan dua
cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.

Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum
subjek dituntut berperan guna memahami objek. Namun
pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang
subjek. Komet Halley, memasuki cakrawala, hanya sejenak
setiap 76 tahun. Dalam kasus ini, walaupun para astronom
menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan
mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan adalah
kehadiran komet itu sendiri untuk memperkenalkan diri.

Wahyu, ilham, intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia
yang siap dan suci jiwanya atau apa yang diduga sebagai
"kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.

"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui
manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena)
apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)

Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan
usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan
zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia
seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti
setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi,
sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.

Al-Quran sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan
memperlakukan peserta didiknya dengan memperhatikan
keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.

Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan
beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya
dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material:

"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?"
(QS Thaha [20]: 17).

Musa sadar sambil menjawab,

"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul
(daun) dengannya untuk kambingku, disamping
keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).

Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam
material, Al-Quran menggunakan benda-benda alam, sebagai
tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan kehadiran
Allah Swt. dan bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil
apa pun- adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan
pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.

"Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia
mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau
kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam
jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).

"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi
Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga)
kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal [8]: 17).

Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk
tenunan kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan
jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran berbicara
tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek
atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling
berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya akan
menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama
dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan
bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi
atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai
dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui
di mana ujung pangkalnya.

Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian,
adalah untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-
bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan terpadu
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.




Keharaman makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap
yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah,
kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban
puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara
berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah. Mengapa
demikian? Mengapa terkesan acak? Jawabannya antara lain
adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya melaksanakan
ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan
untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu.
Bersedekah tidak pula lebih penting daripada menegakkan
hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan menunaikannya
tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan. Puasa dan
ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada
kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks
antara suami-istri. Demikian terlihat keterpaduan
ajaran-ajarannya.

Al-Quran menempuh berbagai cara guna mengantar manusia
kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan
mengemukakan kisah faktual atau simbolik. Kitab Suci
Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi,"
namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan
tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi
negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan
itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi
godaan nafsu dan setan.

Ketika Qarun yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan
merasa bahwa kekayaannya itu adalah hasil pengetahuan dan
jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar
nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi
firman Allah:


"Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi"
(QS Al-Qashash [28]: 81).

Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan
kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan
rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-
hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak
melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun
dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-
orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).

Dalam konteks menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran,
bahkan mengemukakan situasi, langkah konkret dan
kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk
cinta oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di
rumahnya,

Maksudnya,

"(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai
cara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat
rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya
kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari
lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).

Demikian, tetapi itu sama sekali berbeda dengan ulah
sementara seniman, yang memancing nafsu dan merangsang
berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan
dalam diri manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi
tidak juga dibuka lebar, selebar apa yang sering
dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.

Al-Quran kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf,
anak muda yang dirayu wanita itu, juga dengan tiga alasan
penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,

Yang pertama dan kedua adalah,

"Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu
adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik"
(QS Yusuf [12]: 23).

Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.

"Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang
yang berlaku aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).

Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata
dengan sikap. Karena itu, keteladanan para pendidik dan
tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya.

Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya,
pada saat itu pula ia mewajibkan orang-tua mendidik
anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan menaati Rasul
dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para
pemimpin diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang
dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.

Demikian Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua,
masyarakat, dan pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat
tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil
kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu pihak, atau
hanya ditangani oleh guru dan dosen tertentu, tanpa
melibatkan seluruh unsur kependidikan.

Dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari
lamanya, ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama
itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya tekun
mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada
akhirnya, mereka berhasil membangun masyarakat yang di
dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan
dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.

Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan
berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil
penelitian seorang guru besar Harvard University, yang
dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor
kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.

Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah
materi bacaan dan sajian yang disuguhkan khususnya kepada
generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun menjelang
kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu,
para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan
tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi muda itu berperan
dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada hakikatnya
diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan
itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua
puluh tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.

Kalau demikian, jangan menunggu dampak bacaan terhadap
anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian. Siapa pun boleh
optimis atau pesimis, tergantung dari penilaian tentang
bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan
anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat
mempelajari kandungannya, maka kita wajar optimis, karena
kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi
terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama
sekitar delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang
mereka baca dan hayati mendorong pengembangan ilmu dan
teknologi, serta kecerahan pikiran dan kesucian hati.

Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani
pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.

Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan
saja mencanangkan "wajib belajar" tetapi juga "wajib
mengajar." Bukankah tawashauw berarti saling berpesan,
saling mengajar, sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil
pencarian ilmu? Mencari kebaikan menghasilkan akhlak,
mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari kebenaran
menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan
sekaligus mewarnai suatu peradaban.

Al-Quran yang sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan
antara lain:

1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari
segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan
tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian
alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu
konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan
umat manusia.

2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
yakni bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang
seharusnya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada
Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.

3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja
antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta,
kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan
supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan
kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik
dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.

4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama
dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara
melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan.

5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta
pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, dan juga agama.

6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat
dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial
sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia

7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli
kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme,
menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemunkaran.

8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna
menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati
diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.

Demikian sebagian tujuan kehadiran Al-Quran, tujuan
yang tepadu dan menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan
pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik,
yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan.
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan
membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat
dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem
hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan
pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas
keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan
ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat

Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya yang merangsang
akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima
dan memberi kasih dan keharuan cinta, sehingga dapat
mengarahkan kita untuk memberi sebagian dari apa yang
kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan
kekayaan spiritual bangsa kita, dan yang telah tumbuh
subur dalam negara kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar