Selasa, 28 Juli 2009

KEMATIAN

Sebelum membicarakan wawasan Al-Quran tentang kematian,
terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa kematian dalam
pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi sekali, tetapi dua
kali. Surat Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus membenarkan
ucapan orang-orang kafir di hari kemudian:

"Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, Engkau telah
mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan
kami dua kali (pula), lalu kami menyadari
dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi kami untuk
keluar (dari siksa neraka)?"

Kematian oleh sementara ulama didefinisikan sebagai
"ketiadaan hidup," atau "antonim dari hidup." Kematian
pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat
sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang
kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Kehidupan pertama dialami oleh manusia pada saat manusia
menarik dan menghembuskan nafas di dunia, sedang kehidupan
kedua saat ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia
hidup kekal di hari akhirat.

Al-Quran berbicara tentang kematian dalam banyak ayat,
sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusan
ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kematian dan
kehidupan sesudah kematian kedua.

KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN

Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang
kematian bukan sesuatu yang menyenangkan. Namun manusia
bahkan ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan
hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan
keinginan sekelompok manusia untuk hidup selama itu (baca
surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil merayu Adam dan
Hawa melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal
selama-lamanya.

"Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup)
dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha
[20]: 120).

DEMIKIAN IBLIS MERAYU ADAM.

Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada orang
yang enggan mati karena ia tidak mengetahui apa yang akan
dihadapinya setelah kematian; mungkin juga karena menduga
bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan
didapati nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapa
sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati. Atau
mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap
keluarga yang ditinggalkan, atau karena tidak mengetahui
makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya
merasa cemas dan takut menghadapi kematian.

Dari sini lahir pandangan-pandangan optimistis dan
pesimistis terhadap kematian dan kehidupan, bahkan dari
kalangan para pemikir sekalipun.

Manusia, melalui nalar dan pengalamannya tidak mampu
mengetahui hakikat kematian, karena itu kematian dinilai
sebagai salah satu gaib nisbi yang paling besar. Walaupun
pada hakikatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak
diketahui, namun setiap menyaksikan bagaimana kematian
merenggut nyawa yang hidup manusia semakin terdorong untuk
mengetahui hakikatnya atau, paling tidak, ketika itu akan
terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika ia pun pasti
mengalami nasib yang sama.

Manusia menyaksikan bagaimana kematian tidak memilih usia
atau tempat, tidak pula menangguhkan kehadirannya sampai
terpenuhi semua keinginan. Di kalangan sementara orang,
kematian menimbulkan kecemasan, apalagi bagi mereka yang
memandang bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja.
Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai kehidupan
ini sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu,
mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan menghindari
sedapat mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan
jalan melakukan apa saja secara bebas tanpa kendali, demi
mewujudkan eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari
segala sesuatu? Kilah mereka.

Sebenarnya akal dan perasaan manusia pada umumnya enggan
menjadikan kehidupan atau eksistensi mereka terbatas pada
puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa mereka
harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia
bukan berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian
sebagai kepunahan tercermin antara lain melalui penciptaan
berbagai cara untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya,
dengan menyediakan kuburan, atau tempat-tenapat tersebut
dikunjunginya dari saat ke saat sebagai manifestasi dari
keyakinannya bahwa yang telah meninggalkan dunia itu tetap
masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.

Hubungan antara yang hidup dan yang telah meninggal amat
berakar pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala,
bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut oleh
umat manusia dewasa ini. Sedemikian berakar hal tersebut
sehingga orang-orang Mesir Kuno misalnya, meyakini benar
keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik
yang dapat mengawetkan mayat-mayat mereka ratusan bahkan
ribuan tahun lamanya.

Konon Socrates pernah berkata, sebagaimana dikutip oleh
Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),

"Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi)
kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian,
namun ketika aku menemukan kematian, aku pun
menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus
prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira
dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati
untuk hidup."

Demikian gagasan keabadian hidup manusia hadir bersama
manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Kalau keyakinan
orang-orang Mesir Kuno mengantar mereka untuk menciptakan
teknik pengawetan jenazah dan pembangunan piramid, maka
dalam pandangan pemikir-pemikir modern, keabadian manusia
dibuktikan oleh karya-karya besar mereka.

Abdul Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah
(I:214) mengutip tulisan Goethe (1749-1833 M) yang
menyatakan:

"Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir
dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti
yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah
mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya,
maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk
menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan
saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul
beban jiwa."

Demikian filosof Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi ini
sebagai arena untuk bekerja keras, dan kematian merupakan
pintu gerbang menuju kehidupan baru guna merasakan
ketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban.

PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN

Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada
kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu
perjalanan panjang dalam evolusi manusia, di mana
selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam
kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.

Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang
sangat besar dalam memantapkan akidah serta
menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpa kematian,
manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan
tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya. Karena itu,
agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikir tentang
kematian. Rasul Muhammad Saw., misalnya bersabda,
"Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi
(kematian)."

Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul
setelah kewajiban percaya kepada Tuhan, adalah kewajiban
percaya akan adanya hidup setelah kematian.

Dari Al-Quran ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya
bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada kehidupan
tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan malaikat, sampai ke
tingkat tertinggi yaitu kehidupan Yang Mahahidup dan
Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya
bahwa ada kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan di
akhirat. Yang pertama dinamai Al-Quran al-hayat ad-dunya
(kehidupan yang rendah), sedangkan yang kedua dinamainva
al-hayawan (kehidupan yang sempurna).

"Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan
(kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]:
64).

Dijelaskan pula bahwa,

"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang
akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan
kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak
akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77)

Di lain ayat dinyatakan,

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika
dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang
di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin
tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan
kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di
akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi
dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat
hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).

Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang di
sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan
setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup
yang tiada taranya.

Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan
kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut Raghib
Al-Isfahani:

"Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh
dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia
menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah
perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,
sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya
kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian
harus berpindah dan satu negen ke negen (yang
lain) sehingga kalian menetap di satu tempat."
(Abdul Karim AL-Khatib, I:217)

Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada
hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia
dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam
yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai
kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian
juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya
kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).

Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk
kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak
(menahan).

Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya,

"Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan
jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka
Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan
baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang
yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu."

Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah
satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan
menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih
mulia dan baik dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah
kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta imsak
yang berarti menahan (di sisi-Nya)?

Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah
malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya
istilah ini lebih banyak ditujukan kepada manusia yang
durhaka, atau terhadap mereka yang ditinggal mati. Dalam
arti bahwa kematian dapat merupakan musibah bagi orang-orang
yang ditinggalkan sekaligus musibah bagi mereka yang mati
tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup di negeri
seberang.


Kematian juga dikemukakan oleh Al-Quran dalam konteks
menguraikan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia. Dalam surat
Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan kepada orang-orang
kafir.

"Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu
tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya),
kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya
kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya."

Nikmat yang diakibatkan oleh kematian, bukan saja dalam
kehidupan ukhrawi nanti, tetapi juga dalam kehidupan
duniawi, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan
dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua
manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.

Muhammad Iqbal menegaskan bahwa mustahil sama sekali bagi
makhluk manusia yang mengalami perkembangan jutaan tahun,
untuk dilemparkan begitu saja bagai barang yang tidak
berharga. Tetapi itu baru dapat terlaksana apabila ia mampu
menyucikan dirinya secara terus menerus. Penyucian jiwa itu
dengan jalan menjauhkan diri dari kekejian dan dosa, dengan
jalan amal saleh. Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,

"Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman
kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa
atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan
hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu
yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia
Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]:
1-2).1

Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam
bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong
manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan
dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki
kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA

Ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian
bukanlah ketiadaan hidup secara mutlak, tetapi ia adalah
ketiadaan hidup di dunia, dalam arti bahwa manusia yang
meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan
dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.

"Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu
hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS
Ali-'Imran [3]: 169).

"Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang
yang meninggal di jalan Allah bahwa 'mereka itu
telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu
tidak menyadarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara' bin
Azib, bahwa Rasulullah Saw., bersabda ketika putra beliau,
Ibrahim, meninggal dunia, "Sesungguhnya untuk dia (Ibrahim)
ada seseorang yang menyusukannya di surga."

Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika
orang-orang musyrik yang tewas dalam peperangan Badar
dikuburkan dalam satu perigi oleh Nabi dan
sahabat-sahabatnya, beliau "bertanya" kepada mereka yang
telah tewas itu, "Wahai penghuni perigi, wahai Utbah bin
Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai Abu
Jahl bin Hisyam, (seterusnya beliau menyebutkan nama
orang-orang yang di dalam perigi itu satu per satu). Wahai
penghuni perigi! Adakah kamu telah menemukan apa yang
dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? Aku telah mendapati
apa yang telah dijanjikan Tuhanku."

"Rasul. Mengapa Anda berbicara dengan orang yang sudah
tewas?" Tanya para sahabat. Rasul menjawab: "Ma antum hi
asma' mimma aqul minhum, walakinnahum la yastathi'una an
yujibuni (Kamu sekalian tidak lebih mendengar dari mereka,
tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."2

Demikian beberapa teks keagamaan yang dijadikan alasan untuk
membuktikan bahwa kematian bukan kepunahan, tetapi kelahiran
dan kehidupan baru.

MENGAPA TAKUT MATI?

Di atas telah dikemukakan beberapa faktor yang menyebabkan
seseorang merasa cemas dan takut terhadap kematian.

Di sini akan dicoba untuk melihat lebih jauh betapa sebagian
dari faktor-faktor tersebut pada hakikatnya bukan pada
tempatnya.

Al-Quran seperti dikemukakan berusaha menggambarkan bahwa
hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia.

"Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu
daripada dunia" (QS Al-Dhuha [93]: 4).

Musthafa Al-Kik menulis dalam bukunya Baina Alamain
bahwasanya kematian yang dialami oleh manusia dapat berupa
kematian mendadak seperti serangan jantung, tabrakan, dan
sebagainya, dan dapat juga merupakan kematian normal yang
terjadi melalui proses menua secara perlahan. Yang mati
mendadak maupun yang normal, kesemuanya mengalami apa yang
dinamai sakarat al-maut (sekarat) yakni semacam hilangnya
kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.

Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya
terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa
sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu
diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada dalam
kapas, dan yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir
menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang
mencabut nyawa dengan keras) (QS An-Nazi'at [79]: 1),
sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat
surat tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha
(malaikat-malaikat yang mencabut ruh dengan lemah lembut)
sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara
perlahan-lahan.3

Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan
oleh ayat di atas sebagai "dicabut dengan lemah lembut,"
sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada
saat kantuk sampai dengan tidur. Surat Al-Zumar (39): 42
yang dikutip sebelum ini mendukung pandangan yang
mempersamakan mati dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan
bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa yang
diajarkan Rasulullah Saw. untuk dibaca pada saat bangun
tidur adalah:

"Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami
(membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami
(menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan
(kelak)."

Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar
(39): 42 sebagai berikut:

"Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua
hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian
adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang
tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna
dilihat dari beberapa segi."

Kalau demikian. mati itu sendiri "lezat dan nikmat,"
bukankah tidur itu demikian? Tetapi tentu saja ada
faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan kematian lebih
lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi
ngerinya mimpi-mimpi buruk yang dialami manusia.
Faktor-faktor ekstern tersebut muncul dan diakibatkan oleh
amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini

Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad menjelaskan bahwa, "Seorang mukmin, saat
menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil
menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal
dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih
disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda
halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkannya
kepadanya apa yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak
ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada bertemu dengan
Tuhan."

Dalam surat Fushshilat (41): 30 Allah berfirman,

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa
Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa
takut dan jangan pula bersedih, serta
bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah
kepada kamu.'"

Turunnya malaikat tersebut menurut banyak pakar tafsir
adalah ketika seseorang yang sikapnya seperti digambarkan
ayat di atas sedang menghadapi kematian. Ucapan malaikat,
"Janganlah kamu merasa takut" adalah untuk menenangkan
mereka menghadapi maut dan sesudah maut, sedang "jangan
bersedih" adalah untuk menghilangkan kesedihan mereka
menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan seperti anak,
istri, harta, atau hutang.

Sebaliknya Al-Quran mengisyaratkan bahwa keadaan orang-orang
kafir ketika menghadapi kematian sulit terlukiskan:

"Kalau sekuanya kamu dapat melihat
malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang
kafir seraya memukul muka dan belakang mereka
serta berkata, 'Rasakanlah olehmu siksa neraka
yang membakar' (niscaya kamu akan merasa sangat
ngeri)" (QS Al-Anfal [8]: 50)

"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di
waktu orang-orang yang zalim berada dalam
tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para
malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata,
'Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas
dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu
selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang
tidak benar, dan karena kamu selalu menyombongkan
diri terhadap ayat-ayat-Nya" (QS Al-An'am [6]:
93).

Di sisi lain, manusia dapat "menghibur" dirinya dalam
menghadapi kematian dengan jalan selalu mengingat dan
meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak seorang
pun akan luput darinya, karena "kematian adalah risiko
hidup." Bukankah Al-Quran menyatakan bahwa,

"Setiap jiwa akan merasakan kematian?" (QS Ali
'Imran [3]: 183)

"Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk
seorang manusiapun sebelum kamu. Apakah jika kamu
meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS
Al-Anbiya' [21]: 34)

Keyakinan akan kehadiran maut bagi setiap jiwa dapat
membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti
diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam kegembiraan,
semakin besar pengaruh kegembiraan itu pada jiwa;
sebaliknya, semakin banyak yang tertimpa atau terlibat
musibah, semakin ringan musibah itu dipikul."

Demikian Al-Quran menggambarkan kematian yang akan dialami
oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci irõi
menginformasikan tentang kematian yang dapat mengantar
seorang mukmin agar tidak merasa khawatir menghadapinya.
Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk
bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan.

Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar