Kamis, 19 Maret 2009

Jenazah diusung menuju lokasi pemakaman

1. Asal-usul

Bagi masyarakat Banjar, kematian tidak sekedar persoalan keluarnya ruh dari raga, tetapi juga merupakan peristiwa sakral yang menjadi pintu masuk manusia ke alam selanjutnya. Kematian bukan akhir dari perjalanan hidup manusia, tetapi ia adalah awal dari kehidupan yang lain. Sebagai awal dari sebuah kehidupan baru, maka sudah sewajarnya jika mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan yang baru kelak. Dalam kata lain, kematian adalah peristiwa yang memerlukan bekal untuk menopang kehidupan barunya. Apa saja bekal yang harus dipersiapkan dan bagimana mempersiapkan bekal mati tersebut sepenuhnya terkait dengan kepercayaan dan keyakinan setiap individu.

Masyarakat Banjar memilik keyakinan yang mereka percayai akan memberikan manfaat dalam kehidupan di alam kematian. Misalnya, jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 (tujuh laksa) kali, mereka yakini akan terselamatkan dari api neraka. Selain itu, bekal kematian juga mereka persiapkan dengan memperbanyak amal jariyah[1] dan ikuti mengaji tasawwuf. Kedua upaya religius ini seringkali disebut sebagai sangu tuha (bekal tua) atau sangu akhirat (bekal akhirat). Menurut Daud, ada juga yang mempersiapkan piring dan gelas minuman yang terbaik miliknya yang nantinya akan mereka hadiahkan kepada orang yang memandikannya. Pemberian peralatan ini dilandasi oleh keyakinan bahwa hadiah peralatan tersebut akan ia gunakan di alam kematian kelak (Daud, 1997: 290-294). Masih banyak lagi amalan-amalan yang biasanya diamalkan oleh orang Banjar agar kelak setelah mati selamat dari siksa api neraka dan mendapatkan kebahagiaan di sisi Allah SWT.[2]

Selain melakukan amalan secara batin, masyarakat Banjar juga mempersiapkan berbagai hal yang berkaitan dengan perlengkapan upacara kematian. Seperti kain kafan, tanah pekuburan, biaya pelaksanaan upacara, hingga barang-barang yang akan diberikan kepada orang-orang yang membantu pelaksanaan upacara kematian. Persiapan ini cenderung berkaitan erat dengan relasi sosial budaya masyarakat.

Pemaknaan terhadap kematian seseorang bukan sekedar makna sakral, namun juga merupakan peristiwa yang memiliki makna budaya dan sosial. Hal ini terkait erat dengan posisi individu sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga kebudayaan tertentu. Ketika seorang individu meninggal dunia, secara budaya dan sosial menimbulkan kekhawatiran dan tentu saja ”keguncangan” sementara dalam masyarakat. Keguncangan itu mereka atasi dengan ritual yang berfungsi untuk mengembalikan stabilitas sosial budaya.

Bagi masyarakat, ritual juga berfungsi penghormatan terhadap perjalanan orang yang meninggal ke alam baka. Cara pandang ini tampak dari perilaku orang yang mengunjungi keluarga dari orang yang meninggal, mengikuti upacara selamatan, ikut memandikan, menyiapkan lubang kubur, menguburkan, dan mendoakannya. Upacara kematian, dengan demikian, merupakan wilayah tumpang tindih antara peristiwa sakral dan peristiwa sosial. Untuk memberikan gambaran utuh terhadap ketumpang-tindihan tersebut, tulisan ini tidak hanya membahas upacara kematian saja, tetapi juga peristiwa-peristiwa lain yang melingkupi upacara kematian tersebut, seperti menjelang kematian seseorang, ketika orang tersebut telah meninggal, saat penguburan, dan pasca penguburannya.

2. Peralatan Upacara

Peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan upacara kematian pada masyarakat Banjar, di antaranya adalah:

* Peralatan memandikan jenasah. Secara garis besar, peralatan yang digunakan untuk memandikan jenazah terdiri dari balai-balai (amben), air, tempat air, gayung, dan sabun.

* Pengganjal mayat dikuburan. Pengganjal mayat ini biasanya terbuat dari tanah galian yang dibentuk berupa bulatan sebesar gengaman orang dewasa. Bulatan tanah ini digunakan untuk mengganjal mayat agar posisinya tidak berubah ketika dimiringkan menghadap kiblat. Jumlah bulatan ini biasanya terdiri dari lima buah. Dan, setiap bulatan tersebut dibacakan surat al-Qadar masing-masing lima kali.

* Tandu atau keranda jenasah. Tandu digunakan untuk mengusung jenazah dari rumah duka ke tempat pekuburan.


Tandu digunakan untuk mengusung jenazah

* Kuburan. Kuburan merupakan bagian penting dalam ritual kematian masyarakat Banjar. Ukuran lubang kubur dibuat sesuai (baca: mayat bisa masuk) dengan ukuran mayat.

* Tabala atau peti jenasah. Tabala digunakan jika lubang untuk menguburkan barada di daerah rendah (rawa-rawa).

3. Waktu dan Tempat Upacara

Tempat untuk melaksanakan upacara berproses dari halaman rumah tempat keluarga dari orang yang meninggal hingga di tanah pekuburan tempat si mayat akan dikebumikan. Upacara kematian dalam hal ini tidak semata-mata prosesi penguburan, tetapi meliputi aspek-aspek lain seperti perawatan jenazah dan ritual-ritual lainnya seperti yang telah di singgung di atas.


Menunggu waktu penguburan jenasah

Waktu penguburan mayat biasanya mereka laksanakan setelah tengah hari yaitu antara pukul 14.00 – 16.00. Misalnya, jika ada seseorang yang meninggal setelah jam 12 siang, maka upacara penguburan biasanya dilaksanakan pada keesokan harinya. Hal lain yang bisa menjadi pertimbangan untuk menunda penguburan mayat adalah keharusan menunggu kedatangan sanak-saudara.

4. Upacara Kematian

Sebagaimana telah disampaikan pada bagian asal-usul, tulisan ini tidak hanya akan membahas upacara kematiannya saja, tetapi juga peritiwa-peristiwa yang melingkupinya, seperti peristiwa menjelang kematian seseorang, ketika orang tersebut telah meninggal, pada saat penguburan, dan pasca penguburan. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa upacara kematian merupakan rangkaian dari proses-proses tersebut.

a. Menjelang Kematian

Seseorang yang dianggap akan meninggal dunia, biasanya berkaitan dengan umur, misalnya berusia sangat tua; sakit dalam jangka waktu cukup lama, dan kondisi fisiknya sangat lemah. Dalam situasi itu para kerabat, tetangga akan datang silih berganti untuk menjenguknya. Khusus untuk kerabat dekat, biasanya akan terus berjaga secara bergantian sampai orang tersebut meninggal dunia.[3]

Orang-orang yang mengunjungi orang yang sakit biasanya membawa buah tangan. Dalam hal ini tuan rumah (keluarga orang yang sakit) akan menyuguhkan minuman dan hidangan ringan. Jika orang alim yang berkunjung, biasanya pihak keluarga akan memintanya, atau berdasarkan kepeduliannya, mengajari atau menuntun orang yang akan meninggal dunia membaca kalimat la ilah illa Allah. Hal ini ditempuh agar jika si sakit meninggal dunia, kalimat la ilah illa Allah menjadi kalimat terakhir yang diucapkan oleh orang tersebut. Selain itu, orang yang datang, khususnya kerabat dekat, biasanya juga akan membaca surat Yasin di samping orang yang sakit. Pembacaan salah satu surat al-Quran ini didasarkan atas keyakinan bahwa surat Yasin akan mempercepat kepastian si sakit, apakah segera meninggal dunia atau lekas sembuh.[4]

b. Menunggui Orang Mati

Ketika seseorang meninggal dunia pihak keluarga yang menunggu akan melepas segala benda yang menempel ditubuh si mati, meluruskan tubuhnya, menutup mata dan mulutnya , dan meletakkan kedua tangannya di atas dada dengan posisi sedekap seperti orang hendak salat, membaringkan si mati terlentang menghadap kiblat, dan kemudian menututupinya dengan kain beberapa lapis. Pihak keluarga akan menyampaikan peristiwa kematian ini kepada tokoh masyarakat dan aparatur pemerintah, serta tetangga sekitar secara beranting. Selain itu, bedug di langgar dan di masjid juga dibunyikan dengan nada yang khas. Ketika mendengar bedug dengan nada khas tersebut, masyarakat dengan sendirinya akan mafhum bahwa salah satu anggota masyarakat ada yang meninggal dunia.[5] Menurut Daud, ketika orang-orang Banjar mengetahui bahwa salah satu anggota masyarakatnya meninggal dunia, maka mereka akan menghentikan semua aktivitas yang sedang dilakukan untuk sesegera mungkin melayat (Daud, 1997: 289).

Orang-orang yang datang melayat biasanya membawa bawaan berupa beras dan makanan pokok lainnya. Ada juga yang datang langsung membaca al-Quran, khususnya surat Yasin, di samping mayat. Selain itu, ada juga yang datang hanya untuk menunjukkan ikut berbela sungkawa, dan kemudian duduk-duduk bersama pelayat lainnya sambil menunggu waktu pelaksanaan penguburan. Biasanya, acara penguburan akan dilaksanakan setelah tengah hari, yaitu antara pukul 14.00 sampai 16.00. Bagi para pelayat, pihak keluarga orang yang meninggal dunia menyediakan minuman dan kue-kue.


Para pelayat mendapat suguhan kue dan minuman.

Jika keluarga si mayat memutuskan untuk menguburkan jenazah keesokan harinya, maka keluarga harus menunggui mayat sepanjang malam. Pada saat itu harus ada yang menjaga (baca: tidak tidur) agar si mayat tidak dilompati oleh kucing. Menurut kepercayaan setempat, mayat akan bangkit (hidup kembali) jika dilompati kucing. Ketika menunggui mayat ini, biasanya diadakan acara pembacaan tahlil sampai menjelang tengah malam. Tujuannya adalah untuk melengkapi amalan si mayit ketika masih hidup. Selain itu, ada juga, biasanya keluarga dekat, yang sepanjang malam membacakan surat-surat dalam al-Quran, seperti: Surat Yasin, qulhu, dan Tabarak (Daud, 1997: 289).

Selama proses menunggu acara penguburan ini, biasanya kaum kerabat membicarakan di mana orang yang meninggal akan dikebumikan, siapa yang akan ikut memandikan, dan apakah ada pesan-pesan almarhum sebelum meninggal dunia. Sebagaimana telah penulis sampaikan sebelumnya, adakalanya orang Banjar telah mempersiapkan hal-hal yang bisa melancarkan pelaksanaan upacara kematian, seperti kain putih, tanah untuk kuburan, dan biaya yang diperlukan. Terkait hal tersebut, musyawarah biasanya bertujuan untuk mengetahui dan memenuhi pesan-pesan almarhum.

c. Memandikan dan Membungkus Mayat

Sebelum dikuburkan, pihak kerabat dekat dan orang yang biasa memandikan jenazah terlebih dahulu harus memandikan mayit dan kemudian membungkus dengan kain kafan. Dalam hal ini mayat laki-laki dimandikan oleh laki-laki, dan mayat perempuan oleh kalangan wanita. Sedangkan untuk mayat anak-anak, biasanya dilaksanakan oleh para perempuan tanpa mempertimbangkan jenis kelaminnya. Jumlah orang yang memandikan biasanya ganjil (3, 5, atau 7 orang) (Daud, 1997: 292-293; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981: 246-247; Gufron, http://uun-halimah.blogspot.com). Khusus untuk anak atau orang tua si mayit (yang sesama jenis), biasanya mendapat tugas untuk mamiradu, yaitu membersihkan bagian kemaluan dan pelepasan (anus) (Daud, 1997: 292).


Para pelayat menunggu saat penguburan

Pada kesempatan ini, para tetangga yang tidak ikut memandikan, khususnya para pemuda, membantu menyediakan air yang dibutuhkan. Air untuk memandikan jenazah biasanya diambil dari sumur atau sungai. Adapun tata cara memandikan jenazah dalam masyarakat Banjar adalah sebagai berikut:[6]

* Setelah semua persiapan seperti air yang dibutuhkan telah tersedia, orang yang bertugas memandikan telah siap, maka jenazah diletakkan di atas balai-balai dengan diberi bantal dari batang pohon pisang yang bagian tengahnya telah ditarah. Namun seiring perkembangan zaman, alat-alat tradisonal yang digunakan, seperti balai-balai dan batang pohon pisang yang ditarah, telah ditinggalkan dan diganti dengan peralatan khusus memandikan jenasah. Biasanya, peralatan khusus ini disediakan oleh paguyuban rukun kematian yang berada di daerah tersebut.[7] Jenazah biasanya ditempatkan dalam ruangan tertutup yang bersifat sementara misalnya ditutup dengan kain. Bagian rumah yang biasanya yang digunakan untuk tempat memandikan jenazah adalah bagian tengah atau depan. Jenazah tidak diperbolehkan dimandikan di bagian belakang rumah (dapur, juruk).

* Setelah itu jenazah akan ditutupi dengan kain putih, kecuali kaki dan mukanya.

* Selanjutnya, bagian pelepasan (dubur) dan kemaluan jenazah dibersihkan dengan tangan kiri yang dibalut dengan kain putih. Untuk mengeluarkan kotoran-kotoran yang masih ada dalam anus, dan dikhawatirkan akan keluar setelah dimandikan, perut mayat ditekan sedikit sambil mayat setengah didudukkan, dan anusnya diraba dengan menggunakan tangan kiri yang telah dibalut dengan kain putih tersebut. Proses ini disebut juga dengan istinjak.

* Setelah kotoran-kotoran pada anus dan kemaluan dibersihkan, mayat kemudian disiram dengan air sambil disabuni dan digosok sebagaimana orang mandi. Proses ini dilakukan secara berulang-ulang sampai tubuh si mayat dianggap bersih. Proses membersihkan tubuh mayat dengan menyirami dan menyabuninya disebut mandi kubal.

* Selanjutnya mayat di-wudu`i sebagaimana orang yang hendak salat, yaitu dengan membasuh muka, tangan sampai pergelangannya, mengusap sebagian kepala, dan membasuh kaki sampai mata kaki. Pada saat mewudu`i tersebut, orang yang memandikan atau tokoh agama yang bertugas harus disertai dengan membaca niat sebagaimana membaca niat untuk berwudu pada orang yang hendak salat.

* Kemudian mayat disiram dengan banyu pidara (air dicampur dengan daun bidara). Setelah itu, disiram dengan air biasa agar daun bidara yang menempel pada mayat hilang. Selanjutnya disiram dengan air biasa atau air yang dicampur dengan kapur barus.

* Setelah dimandikan, mayat dikeringkan dengan handuk dan dibawa ke tempat tidur yang telah disiapkan untuk dibungkus. Biasanya, kain pembungkus mayat (kain kafan) dan perlatan lain yang dibutuhkan seperti mengikis kayu cendana, mempersiapkan kapas dan tempat tidur untuk membaringkan mayat disiapkan ketika mayat dimandikan. Dan adakalanya telah disiapkan ketika mayat tersebut baru meninggal dunia.

* Muka mayat kemudian dibedaki dengan menggunakan bubuk kayu kayu cendana, dan bagian-bagian tertentu tubuh mayat (antara lain hidung dan telinga) dibalut dengan kapas yang telah dibubuhi bubuk kayu cendana.

* Selanjutnya mayat dibungkus dengan kain kafan, sehingga seluruh tubuh mayat tertutup. Proses pembungkusan mayat dilakukan secara khusus, terutama pada bagian muka mayat sehingga ketika berada di dalam lubang kubur dapat dibuka tanpa harus membuka bagian-bagian yang lain. Mayat pria dibungkus tiga lapis sebagai penutup seluruh tubuhnya, dan ditambah penutup aurat dan bagian kepalanya. Sedangkan mayat wanita dibungkus dua lapis, dan ditambah pembungkus bagian tubuh sebelah atas, penutup kepala dan penutup tubuh bagian bawah.

* Sebelum muka mayat ditutup, biasanya seorang ulama akan menuliskan kalimat La ilah illa Allah pada dahi si mayat dengan menggunakan telunjuknya. Oleh karena menggunakan telunjuk, maka di dahi mayat tidak kelihatan adanya tlisan. Daud (1997: 294) dengan merujuk pada Kitab Perukunan Abdurrahman mengatakan bahwa kalimat yang ditulis di dahi mayat tersebut kelak pada hari kiamat akan menjadi tanda (baca: ciri) umat Muhammad SAW.

* Setelah dibungkus, maka jenazah siap untuk segera disembahyangi oleh pihak kerabat dan tetangga.

a. Menyembahyangkan Jenazah

Setelah orang-orang yang memandikan mayat membungkus jenazah dengan kain kafan, selanjutnya mayat dibawa ke ruangan yang telah disiapkan atau ke tempat peribadatan (langgar atau mesjid) dengan posisi terlentang menghadap ke utara untuk menyembahyangi jenazah. Biasanya, sebelum mayat dibawa ke tempat tersebut, para pelayat telah terlebih dahulu berkumpul dan membaca tahlil dan doa arwah dengan dipimpin oleh orang alim (tokoh agama). Namun adakalanya orang-orang baru berkumpul setelah mayat diletakkan di tempat yang telah disiapkan dan langsung menyembahyangkan si mayat. Adapun tata cara menyembahyangkan mayat adalah sebagai berikut:[8]

* Setelah jenazah diletakkan terlentang dengan kepala menghadap ke utara ditempat yang telah dipersiapkan, maka pelaksanaan salat jenazah dapat segera dilakukan. Pada masyarakat Banjar, sembahyang jenazah minimal dilakukan oleh 40 orang laki-laki. Jumlah empat puluh orang terkait erat dengan kepercayaan masyarakat bahwa satu dari empat puluh orang tersebut makbul doanya. Oleh karenanya, tidak jarang untuk memenuhi hitungan empat puluh pihak keluarga yang meninggal dunia mengundang orang dari luar kampung. Mereka yang diundang biasanya mendapatkan imbalan berupa uang yang dibungkus dengan amplop.

* Orang alim, tokoh agama, atau orang yang terbiasa memimpin salat jenazah mengambil posisi di bagian depan, menjadi imam salat jenasah. Posisi imam untuk mayat perempuan dan mayat laki-laki berbeda: jika mayat yang disembahyangi berjenis kelamin laki-laki, maka posisi imam searah dengan kepala mayat, dan jika mayat berjenis kelamin perempuan, maka posisi imam searah dengan pinggang si mayat.

* Kemudian imam memimpin pelaksanaan salat jenasah. Salat jenazah berbeda dengan salat yang lain. Jika salat yang lain terdiri dari rakaat-rakaat, maka salat jenazah hanya terdiri dari takbir, yaitu empat takbir (Allah al Akbar) dan hanya dengan berdiri tanpa rukuk dan sujud. Dalam setiap takbir ada bacaan tertentu yang dibaca: setelah takbir pertama membaca Surat Fatihah; setelah takbir kedua membaca salawat; setelah takbir ketiga membaca doa untuk si jenasah; dan setelah takbir keempat membaca doa untuk keluarga yang ditinggalkan. Salat ini kemudian diakhiri dengan membaca salam, dengan posisi tetap berdiri.

* Setelah disembayangkan, berarti jenazah telah siap untuk dibawa ke tempat pemakaman.


Pemberangkatan jenazah ke kuburan diiringi dengan pembacaan do`a

e. Menguburkan

Setelah jenazah disembahyangkan, maka tahapan selanjutnya adalah menguburkannya. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut:

* Jenazah dimasukkan ke dalam usungan (keranda).

* Keranda yang telah berisi jenazah ditutup dengan kain batik dan kain yang secara khusus dipersiapkan untuk menutupi keranda. Kain khusus ini biasanya berwarna hijau tua dan disulam dengan kalimat arab yang bunyinya ”la ilaha illa Allah, Muhammad rasul Allah” atau ”Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”. Di atas keranda jenazah ini biasanya juga dihiasi dengan beberapa untaian bunga (kambang barenteng).

* Keranda berisi jenazah kemudian diangkat beramai-ramai untuk segera diberangkatkan ke pekuburan. Jika jenazah merupakan seorang tokoh masyarakat, maka para pelayat biasanya berebut untuk mengusung keranda jenasah, sehingga yang tampak justru keranda yang bergerak dari usungan tangan orang yang satu ke yang lainnya. Sebelum bergerak menuju kuburan, para pengusung keranda jenazah akan berhenti sebentar di dekat pintu rumah. Pada saat berhenti, salah seorang membisiki jenazah agar memandang rumah dan melihat anak cucu serta kerabatnya untuk yang terakhir kalinya, dan setelah itu tidak usah dikenang lagi. Jika si mati mempunyai anak yang belum dewasa, maka si anak disuruh untuk melintas di bawah tandu sebanyak tiga kali. Cara ini dilakukan agar si anak tidak sakit-sakitan karena si ayah mengingat si anak atau sebaliknya, dan atau keduanya saling mengingat.[9]


Sebelum dibawa ke kuburan, jenazah dibisiki untuk melihat keluarga
dan rumahnya untuk yang kali terakhir. Pada kesempatan ini, anak
dari si mayit yang belum dewasa diminta untuk melintas
di bawah tandu sebanyak tiga kali

* Kemudian keranda diarak menuju tempat pemakaman. Biasanya keranda berisi jenazah dipikul secara bergantian.


Keranda berisi jenazah dipikul secara bergantian

* Setelah sampai di tempat penguburan, jenazah langsung dimasukkan ke liang lahat.


Bersiap memasukkan jenazah ke dalam kubur

* Di dalam liang lahat, mayat dibaringkan dengan posisi miring ke kanan dan muka menghadap ke kiblat.


Kain kafan yang menutupi muka mayat dibuka
dan diarahkan agar menghadap ke kiblat.

* Selama proses memasukkan mayat ke liang lahat dan menimbun tanah, di atas lubang kubur dibentangkan kain. Kain ini biasanya penutup keranda. Selain itu, biasanya pada saat menimbuni lubang kuburan, seorang ulama akan memimpin anggota keluarga untuk membaca Surat Yasin.


Di atas kuburan dibentangkan kain (gambar kiri), dan kaum kerabat membawa
bunga untuk nantinya disebarkan diatas pusara (gambar kanan).

* Jika lubang kubur telah ditimbun dengan tanah, maka di atas kubur baru tersebut ditancapi dua potong kayu dengan jarak sekitar 1 meter. Dan, seringkali juga ditambah dengan pohon kambat atau balinjuang, yang biasanya terus tumbuh. Penancapan kedua potong kayu tersebut sebenarnya merupakan langkah darurat sebelum nisan tersedia. Tapi jika nisan telah tersedia, maka tidak pelu menggunakan potongan kayu.


Lubang kubur ditimbun tanah (gambar kiri). Nisan terbuat dari kayu (gambar kanan)

* Kemudian salah seorang ulama mengambil tempat duduk di dekat bagian kepala jenazah yang biasanya telah digelari tikar sebagai alasnya. Ulama tersebut kemudian menyiramkan air dari kepala sampai kaki.

* Ulama tersebut kemudian membaca talkin, yaitu semacam doa yang berisi antara lain ajaran bagi si mati bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat di dalam kubur. Talkin di akhiri dengan doa yang berisi permohonan agar si mati diampuni segala dosanya dan mendapat tempat terhormat di sisi Allah, serta keluarga yang ditinggalkan senantiasa tabah dan mendapat limpahan kesejahteraan. Bacaan talkin dan doa penutupnya pada umumnya menggunakan bahasa Arab. Ketika talkin dibacakan, semua pelayat mengambil posisi duduk atau jongkok.

* Selesai pembacaan talkin dan doa, anggota kerabat si mati menaburkan bunga dan menyiramkan banyu yasin (air yang dibacakan surat Yasin) di atas kuburan.


Menaburkan bunga dan menyiramkan banyu yasin di atas kuburan

* Setelah itu, semua pelayat pulang ke rumah masing-masing. Biasanya orang-orang yang terlibat secara aktif dalam upacara kematian, seperti ikut memandikan, menyolati, menggali kubur, dan membaca talkin, ketika pulang akan diberi uang atau barang-barang peninggalan si mayat, seperti baju, sarung, dan lain sebagainya.

f. Menunggu Kuburan

Terkadang, selesainya upacara penguburan tidak serta merta prosesi upacara kematian berakhir. Adakalanya sekitar satu jam setelah pembacaan talkin atau pelayat pulang ke rumah masing-masing, pihak keluarga menyelenggarakan pembacaan al-Quran di samping kuburan. Pahala dari pembacaan al-Quran ini dihadiahkan kepada orang yang baru dikubur tersebut. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh beberapa orang baik siang mapun malam sampai pada hari ketiga (maniga hari), dan bisa diteruskan sampai hari ketujuh atau bahkan hari yang keempat puluh. Namun ada juga yang mengadakan pembacaan al-Quran hanya satu hari, yaitu setelah pembacaan talkin sampai menjelang mangrib. Jika hanya sampai mangrib, maka yang dibaca hanyalah surat al-Baqarah saja.

Adakalanya, ritual mengaji juga merupakan upaya untuk menghadiahkan pahala kepada yang meninggal dunia. Selain mengaji, ada pula kegiatan menjaga kuburan. Menurut catatan Daud (1997: 296-297), menjaga kuburan biasa mereka lakukan untuk kuburan perempuan yang meninggal ketika melahirkan, dan kuburan bayi yang meninggal ketika dilahirkan (mati bungkus). Untuk kasus yang terakhir, kuburannya harus dijaga selama tiga hari tiga malam agar mayatnya tidak dicuri orang.

5. Nilai Budaya

Pelaksanaan upacara kematian dan hal-hal lain yang melingkupinya dilakukan oleh masyarakat Banjar sebagai ekspresi dari nilai-nilai yang diyakini dan dilembagakan oleh masyarakat Banjar. Lebih dari itu, upacara kematian juga berfungsi untuk mereproduksi, meneruskan, dan melembagakan nilai-nilai sosial tertentu. Nilai-nilai tersebut antara lain:

Pertama, nilai religius. Kematian bagi masyarakat Banjar bukan merupakan akhir dari kehidupan, tapi ia merupakan gerbang menuju kehidupan yang baru di dunia yang baru. Oleh karenanya, setiap orang perlu mempersiapkan bekal yang berguna untuk menopang kehidupannya yang baru kelak. Adanya amalan-amalan yang harus dilakukan, seperti pembacaan tahlil sebanyak 70.000 (tujuh laksa) dan memperbanyak amal jariyah, merupakan pengejawantahan dari religiusitas seseorang. Selain itu, pelaksanaan ritual-ritual tersebut juga merupakan manisfestasi dari persepsi seseorang terhadap yang mereka yakini sebagai Yang Maha Kuasa.

Nilai religius juga dapat dilihat ketika orang tersebut telah mati. Sekian aturan dalam proses memandikan jenasah, membungkus dan menyembahyankan jenasah, serta mengebumikan dan ritual-ritual pasca penguburan merupakan manifestasi dari keyakinan akan nilai keagamaan. Misalnya, mengapa yang memandikan mayat harus berjumlah ganjil, mengapa imam shalat jenazah harus berdiri sejajar dengan kepala mayat mayat jika mayatnya laki-laki, dan lurus dengan pinggang jika mayatnya perempuan, mengapa anak si mayat yang belum dewasa harus melintas di bawah keranda Ayahnya, mengapa setelah proses penguburan harus dibacakan talkin, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya tentu tidak bisa dijawab hanya dengan menggunakan rasionalitas belaka. Ini adalah sistem simbol yang memiliki keterkaitan erat dengan pemaknaan Islam dalam konteks tradisi lokal.

Kedua, solidaritas. Pelaksanaan upacara kematian merupakan manifestasi solidaritas sosial yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Banjar. Ketika salah seorang anggota masyarakat sakit dan diperkirakan akan segera meninggal dunia, maka anggota masyarakat datang menjenguk seolah-olah ikut merasakan ”sakitnya” orang yang sakit tersebut. Ketika orang itu meninggal dunia, maka segenap masyarakat datang melayat, dan bahkan rela menunda pekerjaan yang sedang dilakukan. Mereka membawakan keluarga yang ditinggalkan berbagai macam barang yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara kematian, seperti beras. Nilai solidaritas ini juga dapat dilihat pada setiap bagian dalam upacara kematian, mulai dari memandikan, menyediakan air untuk memandikan jenasah, mengkafani, menyembahyangkan, menggali kubur, menyiapkan kayu bakar untuk memasak, dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkuri bahwa kematian menjadi media untuk menciptakan solidaritas sosial yang meringankan beban bagi keluarga yang ditinggalkan dan memulihkan keguncangan sosial karena adanya kematian.

Ketiga, penghormatan kepada kemanusiaan. Selain sebagai bentuk pengungkapan solidaritas terhadap keluarga yang salah satu anggotanya meninggal dunia, upacara kematian merupakan manifestasi penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Di jenguk ketika sakit, dibaringkan membujur utara-selatan setelah ajal menjemput, dimandiin dengan tata cara yang rumit, dikafani dengan kain berwarna putih, disembayangi oleh minimal empat puluh orang, diusung dengan tandu secara bergantiaan oleh segenap masyarakat, dan lain sebagainya merupakan bukti dari pemulyaan tersebut. Selain itu, segala ritual tersebut juga menjadi pembeda status manusia dari mahluk Tuhan yang lain.

6. Penutup

Pelaksanaan upacara kematian masyarakat Banjar berada pada wilayah tumpang tindih antara hal-hal yang bersifat transendental dan profan. Kita akan kesulitan untuk memisahkan kedua wilayah tersebut. Orang pergi melayat kepada orang yang mati misalnya, pada satu sisi merupakan peristiwa sosial biasa, yaitu ikut bersimpati dan berempati terhadap keluarga yang anggotanya meninggal dunia. Dan pada sisi yang lain ia merupakan peristiwa bernuansa sakral, karena pergi melayat didorong oleh keinginan untuk mendapatkan pahala.

Pelaksanaan upacara kematian yang dilakukan oleh masyarakat Banjar menjadi tempat bertemu, berkomunikasi, dan berbagi informasi. Pertemuan dan komunikasi antarmasyrakat menjadi mejadi media untuk membangun kolektivitas dan solidaritas masyarakat yang mengalami keguncangan. Oleh karena pentingnya fungsi tersebut, maka masyarakat melembagakan upacara kematian. Ketika pelaksanaan upacara kematian telah terlembagakan dan tata aturannya menjadi kebiasaan, maka upacara kematian menjadi pemicu terbentuknya solidaritas sosial.

(Ahmad Salehudin/bdy/40/02-2009)

Kredit Foto:

* Chenull/Sayid Munawar dalam http://www.flickr.com/photos/ayik/
* http://pk-sejahtera.org/v2/?op=isi&id=1648
* http://community.kompas.com/read/artikel/1554

Daftar Bacaan:

* Alfani Daud, 1997, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
* Gufron, Upacara Kematian pada Masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan), dalam http://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/upacara-kematian-pada-masyarakat-banjar.html, diakses tanggal 7 Januari 2009.
* Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981, Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan, Jakarta: Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
* Abdul Djebar Hapip, 1977, Kamus Banjar-Indonesia, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan.


[1] Amal Jariyah adalah amalan yang pahalanya akan terus mengalir kepada orang yang beramal. Contoh dari kegiatan amal jariyah adalah mewakafkan harta untuk pembangunan masjid atau tempat-tempat untuk kegiatan pendidikan. Selama masjid and tempat-tempat pendidikan tersebut masih digunakan dan memberikan manfaat, maka pahala amalan ini akan terus mengalir kepada orang beramal.

[2] Tuntunan tentang persiapan apa saja yang harus dilakukan oleh orang-orang Banjar dalam menyambut kematiannya dapat dilihat pada kitab Perukunan Jamaluddin. Kitab ini merupakan kitab penuntun bagi-orang-orang, khususnya orang Banjar, bagaimana menjalani kehidupan kehidupan di dunia secara baik sehingga nantinya dapat berbahagia dalam kehidupan yang akan datang.

[3] Apabila ada salah satu anggota keluarga sakit keras, maka diusahakan agar selalu ada anggota kerabat dekat yang mendampinginya. Jika ajal orang yang sakit tersebut diperkirakan akan datang menjemput, maka para kerabat dekat, khususnya saudara lelaki paling tua (asbah), berkumpul. Hal ini bertujuan agar para kerabat telah berkumpul ketika si sakit meninggal dunia (Daud, 1997: 288; Hapip, 1977: 29; P dan K, 1977: 245-246)

[4] Dalam tulisan Daud (1997: 288) disebutkan bahwa petunjuk-petunjuk tindakan yang harus dilakukan oleh masyarakat Banjar terhadap orang sakit terdapat dalam kitab Perukunan Jamaluddin. Selain itu, menurut Daud, kitab tersebut juga memuat tindakan-tindakan yang harus dilakukan (adab) orang yang sedang sakit.

[5] Seiring perkembangan zaman, penyebar luasan informasi kematian adakalanya menggunakan alat pengeras suara. Salah satu mahasiswa asal Banjar yang kuliah di sebuah perguruan tingi di Yogyakarta mengatakan bahwa saat ini informasi tentang kematian disebarluaskan menggunakan pengeras suara yang ada di masjid-masjid.

[6] Tata cara memandikan jenazah ini sepenuhnya diolah dari tulisan Daud (1997: 291-294). Selain itu, Daud menginformasikan bahwa tata cara memandikan jenazah masyarakat Banjar berdasarkan Kitab Perukunan Jamluddin (hlm 25-28), dan Kitab Perukunan Abdurrahman (hlm. 28-31). Bandingkan dengan tata cara memandikan jenazah dalam tulisan Gufron (http://uun-halimah.blogspot.com) dan Proyek inventarisasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981 (246-247).

[7] Dalam perkembangannya, perawatan jenazah biasanya dilakukan oleh lembaga khusus, biasanya disebut rukun kematian, yang memang sengaja dibuat oleh masyarakat. Kelompok inilah biasanya yang menangani perawatan jenasah, mulai dari memandikan sampai menguburkannya (Daud, 1997: 292-293).

[8] Ritual menyembahyangkan jenazah diolah dari tulisan Daud (1997) dengan refrensi tambahan dari Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981), Adat-Istiadat Daerah Kalimantan Selatan dan tulisan Gufron (http://uun-halimah.blogspot.com)

[9] Menurut Daud, seorang anak yang sakit karena hal ini (teringat atau diingat oleh orang tuanya yang telah meninggal dunia) disebut dandam pidara, yaitu suatu bentuk kepidaraan yang agak serius, dan untuk menyembuhkannya harus meminta bantuan kepada arwah yang telah me-midarai-nya (Daud, 1997: 295).
Dibaca : 240 kali.
Λ Kembali ke atas
Beranda | Berita | Opini | Artikel | Sejarah Melayu | Budaya Melayu | Sastra Melayu | Tokoh Melayu | Peneliti Melayu | Penghargaan
Kamus Melayu | Ensiklopedi Melayu | Agenda | Direktori | Pautan | Forum | Resensi Buku | Perpustakaan | Koleksi | Kedai
Komentar Tamu | Tentang Kami | Kerjasama | Hubungi Kami | Donasi | Peta Situs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar